BATAS WILAYAH NKRI
Indonesia mempunyai perbatasan darat dengan tiga negara tetangga, yaitu
Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Sementara perbatasan laut dengan
sepuluh negara tetangga, diantaranya Malaysia, Singapura, Vietnam,
Filipina, Papua Nugini, Timor Leste, India, Thailand, Australia, dan
Palau. Hal ini tentunya sangat erat kaitannya dengan masalah penegakan
kedaulatan dan hukum di laut, pengelolaan sumber daya alam serta
pengembangan ekonomi kelautan suatu negara.
Kompleksitas permasalah di laut akan semakin memanas akibat semakin
maraknya kegiatan di laut, seperti kegiatan pengiriman barang antar
negara yang 90%nya dilakukan dari laut, ditambah lagi dengan isu-isu
perbatasan, keamanan, kegiatan ekonomi dan sebagainya. Dapat dibayangkan
bahwa penentuan batas laut menjadi sangat penting bagi Indonesia,
karena sebagian besar wilayahnya berbatasan langsung dengan negara
tetangga di wilayah laut. Batas laut teritorial diukur berdasarkan garis
pangkal yang menghubungkan titik-titik dasar yang terletak di pantai
terluar dari pulau-pulau terluar wilayah NKRI. Berdasarkan hasil survei
Base Point atau titik dasar untuk menetapkan batas wilayah dengan negara
tetangga, terdapat 183 titik dasar yang terletak di 92 pulau terluar,
sisanya ada di tanjung tanjung terluar dan di wilayah pantai
Berdasarkan
identifikasi, baru batas maritim antara Indonesia dengan Australia yang
telah lengkap disepakati. Sementara batas maritim dengan negara
tetangga lain baru dilakukan penetapan batas-batas Dasar Laut (Landas
Kontinen) dan sebagian batas laut wilayah. Untuk menegakkan kedaulatan
dan hukum di wilayah yurisdiksi Indonesia diperlukan penetapan
batas-batas maritim secara lengkap. Penetapan batas ini dilakukan
berdasarkan ketentuan Hukum Laut Internasional, yang diatur dalam
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) yang telah diratifikasi
pemerintah Indonesia melalui UU No 17 tahun 1985.
Implementasi
dari ratifikasi tersebut adalah diperlukannya pengelolaan terhadap
batas maritim yang meliputi Batas Laut dengan negara tetangga dan Batas
Laut dengan Laut Bebas. Adapun batas-batas maritim Republik Indonesia
dengan negara tetangga, mencakup Batas Laut Wilayah (Territorial Sea),
batas perairan ZEE, batas Dasar Laut atau Landas Kontinen. Belum
selesainya penentuan batas maritim antara pemerintah Indonesia dengan
negara tetangga menjadikan daerah perbatasan rawan konflik.
Penetapan
batas maritim sangat dibutuhkan untuk memperoleh kepastian hukum yang
dapat mendukung berbagai kegiatan kelautan, seperti penegakan kedaulatan
dan hukum di laut, perikanan, wisata bahari, eksplorasi lepas pantai (off shore), transportasi laut dan lainnya.
Belum
adanya kesepakatan batas laut Indonesia dengan beberapa Negara tetangga
menimbulkan permasalahan saling klaim wilayah pengelolaan, khususnya
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Beberapa kasus yang
ada antara Indonesia dan Malaysia merupakan cerminan rentannya perairan
daerah perbatasan. Terjadi saling tangkap nelayan baik dari Indonesia
maupun Malaysia bahkan bias mengganggu hubungan diplomatic kedua Negara.
Permasalahan
batas laut merupakan hal mendasar yang seharusnya segera di selesaikan
dan disepakati oleh kedua negara. Bukan dengan saling menangkap kapal
atau saling klaim wilayah perairan. Sebagai Negara kepulauan, Indonesia
seharunya lebih proaktif dalam penyelesaian batas laut dengan Negara
tetangga, dengan demikian adanya keinginan untuk menjadikan Indonesia
sebagai Negara Maritim yang kuat bisa terealisasi.
Dari
beberapa batas laut Indonesia dengan Negara tetangga, ada Sembilan
batas laut yang memiliki kerawanan konflik antar negara. Indonesia Maritime Magazine mencoba untuk mengulas permasalahan batas laut tersebut.
Indonesia-Malaysia
Garis
batas laut wilayah antara Indonesia dengan Malaysia adalah garis yang
menghubungkan titik-titik koordinat yang ditetapkan berdasarkan
kesepakatan bersama di Kuala Lumpur, pada 17 Maret 1977.
Berdasarkan
UU No 4 Prp tahun 1960, Indonesia telah menentukan titik dasar batas
wilayah lautnya sejauh 12 mil. Sebagai implementasi dari UU tersebut,
beberapa bagian perairan Indonesia yang jaraknya kurang dari 12 mil
laut, menjadi laut wilayah Indonesia. Termasuk wilayah perairan yang ada
di Selat Malaka.
Pada
Agustus 1969, Malaysia juga mengumumkan bahwa lebar laut wilayahnya
menjadi 12 mil laut, diukur dari garis dasar yang ditetapkan menurut
ketentuan-ketentuan konvensi Jenewa 1958 (mengenai Laut Wilayah dan Contigous Zone).
Sehingga timbul persoalan, yaitu letak garis batas laut wilayah
masing-masing negara di Selat Malaka (di bagian yang sempit) atau kurang
dari 24 mil laut. Adapun batas Landas Kontinen antara Indonesia dan
Malaysia ditentukan berdasarkan garis lurus yang ditarik dari titik
bersama ke titik koordinat yang disepakati bersama pada 27 Oktober 1969.
Atas
pertimbangan tersebut, dilaksanakan perundingan (Februari-Maret 1970)
yang menghasilkan perjanjian tentang penetapan garis Batas Laut Wilayah
kedua negara di Selat Malaka. Penentuan titik koordinat tersebut
ditetapkan berdasarkan Garis Pangkal masing-masing negara.
Dengan
diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, maka penentuan
titik dasar dan garis pangkal dari tiap-tiap negara perlu diratifikasi
berdasarkan aturan badan internasional yang baru. Selama ini penarikan
batas Landas Kontinen Indonesia dengan Malaysia di Perairan Selat Malaka
berpedoman pada Konvensi Hukum Laut 1958.
MoU RI dengan Malaysia yang
ditandatangani pada 27 Oktober 1969 yang menetapkan Pulau Jara dan Pulau
Perak sebagai acuan titik dasar dalam penarikan Garis Pangkal jelas
jelas merugikan pihak Indonesia, karena median line yang diambil dalam
menentukan batas landas kontinen kedua negara tersebut cenderung
mengarah ke perairan Indonesia.
Tidak hanya itu, Indonesia juga belum
ada kesepakatan dengan pihak Malaysia tentang ZEE-nya. Penentuan ZEE ini
sangat penting dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan
masing-masing negara.
Akibat belum adanya kesepakatan ZEE
antara Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka, sering terjadi
penangkapan nelayan oleh kedua belah pihak. Hal ini disebabkan karena
Malaysia menganggap batas Landas Kontinennya di Selat Malaka, sekaligus
merupakan batas laut dengan Indonesia. Hal ini tidak benar, karena batas
laut kedua negara harus ditentukan berdasarkan perjanjian bilateral.
Berdasarkan kajian Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL, batas laut Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka seharusnya berada di median line
antara garis pangkal kedua negara yang letaknya jauh di sebelah utara
atau timur laut batas Landas Kontinen. Berdasarkan ketentuan UNCLOS-82,
sebagai coastal state, Malaysia tidak diperbolehkan menggunakan
Pulau Jara dan Pulau Perak sebagai base line yang jarak antara kedua
pulau tersebut lebih dari 100 mil laut.
Jika ditinjau dari segi geografis,
daerah yang memungkinkan rawan sengketa perbatasan dalam pengelolaan
sumber-sumber perikanan adalah di bagian selatan Laut Andaman atau di
bagian utara Selat Malaka.
Indonesia-Singapura
Penentuan titik-titik koordinat pada Batas Laut Wilayah Indonesia dan Singapura didasarkan pada prinsip sama jarak (equidistance) antara dua pulau yang berdekatan. Pengesahan titik-titik koordinat tersebut didasarkan pada kesepakatan kedua pemerintah.
Titik-titik koordinat itu terletak di
Selat Singapura. Isi pokok perjanjiannya adalah garis Batas Laut Wilayah
Indonesia dan laut wilayah Singapura di Selat Singapura yang sempit
(lebar lautannya kurang dari 15 mil laut) adalah garis terdiri dari
garis-garis lurus yang ditarik dari titik koordinat.
Namun, di kedua sisi barat dan timur
Batas Laut Wilayah Indonesia dan Singapura masih terdapat area yang
belum mempunyai perjanjian perbatasan. Di mana wilayah itu merupakan
wilayah perbatasan tiga negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia.
Pada sisi barat di perairan sebelah
utara pulau Karimun Besar terdapat wilayah berbatasan dengan Singapura
yang jaraknya hanya 18 mil laut. Sementara di wilayah lainnya, di sisi
timur perairan sebelah utara pulau Bintan terdapat wilayah yang sama
yang jaraknya 28,8 mil laut. Kedua wilayah ini belum mempunyai
perjanjian batas laut.
Permasalahan muncul setelah Singapura
dengan gencar melakukan reklamasi pantai di wilayahnya. Sehingga terjadi
perubahan garis pantai ke arah laut (ke arah perairan Indonesia) yang
cukup besar. Bahkan dengan reklamasi, Singapura telah menggabungkan
beberapa pulaunya menjadi daratan yang luas. Untuk itu batas wilayah
perairan Indonesia – Singapura yang belum ditetapkan harus segera
diselesaikan, karena bisa mengakibatkan masalah di masa mendatang.
Singapura akan mengklaim batas lautnya berdasarkan Garis Pangkal
terbaru, dengan alasan Garis Pangkal lama sudah tidak dapat
diidentifikasi.
Namun dengan melalui perundingan yang
menguras energi kedua negara, akhirnya menyepakati perjanjian batas laut
kedua negara yang mulai berlaku pada 30 Agustus 2010. Batas laut yang
ditentukan adalah Pulau Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer.
Perundingan ini telah berlangsung sejak tahun 2005, dan kedua tim
negosiasi telah berunding selama delapan kali. Dengan demikian
permasalahan berbatasan laut Indonesia dan Singapura pada titik tersebut
tidak lagi menjadi polemik yang bisa menimbulkan konflik, namun
demikian masih ada beberapa titik perbatasan yang belum disepakati dan
masih terbuka peluang terjadinya konflik kedua negara.
Indonesia-Thailand
Garis Batas Landas Kontinen Indonesia
dan Thailand adalah garis lurus yang ditarik dari titik pertemuan ke
arah Tenggara. Hal itu disepakati dalam perjanjian antara pemerintah
Indonesia dengan Thailand tentang penetapan Garis Batas Dasar Laut di
Laut Andaman pada 11 Desember 1973.
Titik koordinat batas Landas Kontinen
Indonesia-Thailand ditarik dari titik bersama yang ditetapkan sebelum
berlakunya Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Karena itu, sudah selayaknya
perjanjian penetapan titik-titik koordinat di atas ditinjau kembali.
Apalagi Thailand telah mengumumkan Zona Ekonomi Eksklusif dengan Royal Proclamation pada 23 Februari 1981, yang isinya; “The
exclusive Economy Zone of Kingdom of Thailand is an area beyond and
adjacent to the territorial sea whose breadth extends to two hundred
nautical miles measured from the baselines use for measuring the breadth
of the Territorial Sea”. Pada prinsipnya Proklamasi ZEE tersebut tidak menyebutkan tentang penetapan batas antar negara.
Indonesia-India
Garis Batas Landas Kontinen Indonesia
dan India adalah garis lurus yang ditarik dari titik pertemuan menuju
arah barat daya yang berada di Laut Andaman. Hal itu berdasarkan
persetujuan pada 14 Januari 1977 di New Delhi, tentang perjanjian garis
batas Landas Kontinen kedua negara. Namun, pada beberapa wilayah batas
laut kedua negara masih belum ada kesepakatan.
Indonesia-Australia
Perjanjian Indonesia dengan Australia
mengenai garis batas yang terletak antara perbatasan Indonesia- Papua
New Guinea ditanda tangani di Jakarta, pada 12 Februari 1973. Kemudian
disahkan dalam UU No 6 tahun 1973, tepatnya pada 8 Desember 1973).
Adapun persetujuan antara Indonesia
dengan Australia tentang penetapan batas-batas Dasar Laut, ditanda
tangani paada 7 Nopember 1974. Pertama, isinya menetapkan lima daerah
operasional nelayan tradisional Indonesia di zona perikanan Australia,
yaitu Ashmore reef (Pulau Pasir); Cartier Reef (Pulau Ban); Scott Reef (Pulau Datu); Saringapatan Reef, dan Browse.
Kedua, nelayan tradisional Indonesia di perkenankan mengambil air tawar di East Islet dan Middle Islet, bagian dari Pulau Pasir (Ashmore Reef). Ketiga, nelayan Indonesia dilarang melakukan penangkapan ikan dan merusak lingkungan di luar kelima pulau tersebut.
Sementara persetujuan Indonesia dengan
Australia, tentang pengaturan Administrative perbatasan antara
Indonesia-Papua New Gunea; ditanda tangani di Port Moresby, pada 13
November 1973. Hal tersebut telah disahkan melalui Keppres No. 27 tahun
1974, dan mulai diberlakukan pada 29 April 1974. Atas perkembangan baru
di atas, kedua negara sepakat untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan
MOU 1974.
Indonesia-Vietnam
Pada 12 November 1982, Republik Sosialis Vietnam mengeluarkan sebuah Statement yang disebut “Statement on the Territorial Sea Base Line”.
Vietnam memuat sistem penarikan garis pangkal lurus yang radikal.
Mereka ingin memasukkan pulau Phu Quoc masuk ke dalam wilayahnya yang
berada kira-kira 80 mil laut dari garis batas darat antara Kamboja dan
Vietnam.
Sistem penarikan garis pangkal tersebut dilakukan menggunakan 9 turning point.
Di mana dua garis itu panjangnya melebihi 80 mil pantai, sedangkan tiga
garis lain panjangnya melebihi 50 mil laut. Sehingga, perairan yang
dikelilinginya mencapai total luas 27.000 mil2.
Sebelumnya, pada 1977 Vietnam
menyatakan memiliki ZEE seluas 200 mil laut, diukur dari garis pangkal
lurus yang digunakan untuk mengukur lebar Laut Wilayah. Hal ini tidak
sejalan dengan Konvensi Hukum Laut 1982, karena Vietnam berusaha
memasukkan pulau-pulau yang jaraknya sangat jauh dari titik pangkal.
Kondisi tersebut menimbulkan tumpang tindih dengan Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia di sebelah utara Pulau Natuna.
Indonesia-Filipina
Berdasarkan dokumen perjanjian
batas-batas maritim Indonesia dan Filipina sudah beberapa kali melakukan
perundingan, khususnya mengenai garis batas maritim di laut Sulawesi
dan sebelah selatan Mindanao (sejak 1973). Namun sampai sekarang belum
ada kesepakatan karena salah satu pulau milik Indonesia (Pulau Miangas)
yang terletak dekat Filipina, diklaim miliknya. Hal itu didasarkan atas
ketentuan konstitusi Filipina yang masih mengacu pada treaty of paris
1898. Sementara Indonesia berpegang pada wawasan nusantara (the archipelagic principles) sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS 1982).
Indonesia-Republik Palau
Republik Palau berada di sebelah Timur Laut Indonesia. Secara geografis negara itu terletak di 060. 51” LU dan 1350.50” BT. Mereka adalah negara kepulauan dengan luas daratan ± 500 km2.
Berdasarkan konstitusi 1979, Republik
Palau memiliki yuridiksi dan kedaulatan pada perairan pedalaman dan Laut
Teritorial-nya hingga 200 mil laut. Diukur dari garis pangkal lurus
kepulauan yang mengelilingi kepulauan.
Palau memiliki Zona Perikanan yang diperluas (Extended Fishery Zone)
hingga berbatasan dengan Zona Perikanan Eksklusif, yang lebarnya 200
mil laut diukur dari garis pangkal. Hal itu menyebabkan tumpang tindih
antara ZEE Indonesia dengan Zona Perikanan yang diperluas Republik
Palau. Sehingga, perlu dilakukan perundingan antara kedua negara agar
terjadi kesepakatan mengenai garis batas ZEE.
Indonesia-Timor Leste
Berdirinya negara Timor Leste sebagai
negara merdeka, menyebabkan terbentuknya perbatasan baru antara
Indonesia dengan negara tersebut. Perundingan penentuan batas darat dan
laut antara RI dan Timor Leste telah dilakukan dan masih berlangsung
sampai sekarang.
First Meeting Joint Border Committee
Indonesia-Timor Leste dilaksanakan pada 18-19 Desember 2002 di Jakarta.
Pada tahap ini disepakati penentuan batas darat berupa deliniasi dan
demarkasi, yang dilanjutkan dengan perundingan penentuan batas maritim.
Kemudian perundingan Joint Border Committee kedua diselenggarakan di Dilli, pada Juli 2003.
Referensi :http://indomaritimeinstitute.org/?p=1341
http://www.geomatika.its.ac.id/lang/id/archives/774
Tidak ada komentar:
Posting Komentar