Direktorat
Jenderal Pajak, dalam hal ini Penyidik di Kanwil DJP Riau dan Kepulauan
Riau, menjemput paksa “AP” tersangka kasus pengelapan pajak pada Hari
Rabu, 18 Desember 2013 di Pekanbaru Riau. Selanjutnya, terhadap
tersangka “AP” dilakukan penangkapan dan penahanan dengan bantuan
Koordinator Pengawas (Korwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
Polri.
Tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh “AP”, Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang perdagangan alat-alat elektronik, adalah sangkaan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) tetapi isinya tidak benar, yaitu dengan cara melaporkan omzet yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya untuk Tahun Pajak 2005 s.d. 2008. Atas perbuatannya tersebut, diperkirakan negara mengalami kerugian sebesar Rp 5 miliar.
Sebelumnya, tersangka “AP” tidak kooperatif terhadap pemanggilan Penyidik Kanwil DJP Riau dan Kepulauan Riau dalam rangka melengkapi keterangan tambahan yang diperlukan oleh Jaksa Peneliti. Setelah dua kali tidak memenuhi panggilan Penyidik tanpa alasan, selanjutnya Penyidik berkoordinasi dengan Korwas PPNS Polri dalam rangka permohonan bantuan membawa dan menghadapkan tersangka “AP” kepada Penyidik Kanwil DJP Riau dan Kepulauan Riau.
Keberhasilan ini menunjukkan kesungguhan Ditjen Pajak dalam rangka melaksanakan penegakan hukum di bidang perpajakan. Selain itu, terungkapnya kasus ini diharapkan juga mampu memberikan efek jera (detterent effect) kepada seluruh Wajib Pajak lainnya sehingga kepatuhan Wajib Pajak akan semakin meningkat
sumber :http://www.pajak.go.id/content/ditjen-pajak-jemput-paksa-tersangka-kasus-penggelapan-pajak-di-riau.
analisis :
Pajak adalah beban bagi perusahaan, sehingga wajar jika tidak satupun perusahaan (wajib pajak) yang dengan senang hati dan suka rela membayar pajak. Karena pajak adalah iuran yang sifatnya dipaksakan, maka negara juga tidak membutuhkan ‘kerelaan wajib pajak’. Yang dibutuhkan oleh negara adalah ketaatan. Suka tidak suka, rela tidak rela, yang penting bagi negara adalah perusahaan tersebut telah membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh “AP”, Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang perdagangan alat-alat elektronik, adalah sangkaan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) tetapi isinya tidak benar, yaitu dengan cara melaporkan omzet yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya untuk Tahun Pajak 2005 s.d. 2008. Atas perbuatannya tersebut, diperkirakan negara mengalami kerugian sebesar Rp 5 miliar.
Sebelumnya, tersangka “AP” tidak kooperatif terhadap pemanggilan Penyidik Kanwil DJP Riau dan Kepulauan Riau dalam rangka melengkapi keterangan tambahan yang diperlukan oleh Jaksa Peneliti. Setelah dua kali tidak memenuhi panggilan Penyidik tanpa alasan, selanjutnya Penyidik berkoordinasi dengan Korwas PPNS Polri dalam rangka permohonan bantuan membawa dan menghadapkan tersangka “AP” kepada Penyidik Kanwil DJP Riau dan Kepulauan Riau.
Keberhasilan ini menunjukkan kesungguhan Ditjen Pajak dalam rangka melaksanakan penegakan hukum di bidang perpajakan. Selain itu, terungkapnya kasus ini diharapkan juga mampu memberikan efek jera (detterent effect) kepada seluruh Wajib Pajak lainnya sehingga kepatuhan Wajib Pajak akan semakin meningkat
sumber :http://www.pajak.go.id/content/ditjen-pajak-jemput-paksa-tersangka-kasus-penggelapan-pajak-di-riau.
analisis :
Pajak adalah beban bagi perusahaan, sehingga wajar jika tidak satupun perusahaan (wajib pajak) yang dengan senang hati dan suka rela membayar pajak. Karena pajak adalah iuran yang sifatnya dipaksakan, maka negara juga tidak membutuhkan ‘kerelaan wajib pajak’. Yang dibutuhkan oleh negara adalah ketaatan. Suka tidak suka, rela tidak rela, yang penting bagi negara adalah perusahaan tersebut telah membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Mengingat pajak adalah beban –yang akan
mengurangi laba bersih perusahaan- maka perusahaan akan berupaya semaksimal
mungkin agar dapat membayar pajak sekecil mungkin dan berupaya untuk
menghindari pajak. Namun demikian penghindaran pajak harus dilakukan dengan
cara-cara yang legal agar tidak merugikan perusahaan di kemudian hari.
Penghindaran pajak dengan cara illegal adalah penggelapan pajak. Hal ini
perbuatan kriminal, karena menyalahi aturan yang berlaku. Contoh kasus
penggelapan pajak :
a. Melaporkan
penjualan lebih kecil dari yang seharusnya, omzet 10 milyar hanya dilaporkan
dalam laporan keuangan perusahaan sebesar 5 milyar misalnya.
b. Menggelembungkan
biaya perusahaan dengan membebankan biaya fiktif;
c.
Transaksi
export fiktif,
d. Pemalsuan
dokumen keuangan perusahaan
Dalam ketentuan perpajakan, masih terdapat
berbagai celah –loophole- yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan agar
jumlah pajak yang dibayar oleh perusahaan optimal dan minimum (secara
keseluruhan). Optimal disini diartikan sebagai, perusahaan tidak membayar
sesuatu (pajak) yang semestinya tidak harus dibayar, membayar pajak dengan
jumlah yang ‘paling sedikit’ namun tetap dilakukan dengan cara yang elegan dan
tidak menyalahi ketentuan yang berlaku. Selain menghindari transaksi yang
merupakan obyek pajak, langkah-langkah penghematan pajak yang dapat dilakukan
oleh perusahaan antara lain :
a.
Memilih Bentuk
usaha yang memiliki tarif Pajak terendah
b.
Memaksimalkan
biaya yang telah dikeluarkan agar dapat dibebankan sebagai pengurang
penghasilan.
c.
Memilih
berbagai alternatif transaksi yang memberikan efek beban pajak terendah.
d.
Memaksimalkan
kredit pajak yang telah dibayar.
Selain wajib membayar pajak atas penghasilan
yang diperoleh, perusahaan juga memiliki kewajiban untuk memotong pajak yang
terutang atas penghasilan yang dibayarkan kepada pihak lainnya, baik kepada
karyawan maupun kepada pihak ketiga. Atas pembayaran gaji dan tunjangan kepada
karyawan perusahaan wajib memotong dan menyetor PPh 21 yang terutang.
Pembahasan mengenai PPh 21 akan dilanjutkan pada kesempatan lain.
Sedangkan atas pembayaran kepada pihak ketiga,
atas imbalan jasa/ kegiatan, perusahaan juga memiliki kewajiban memotong PPh 23
yang terutang dan menyetorkannya ke kas negara. Dalam kondisi yang ideal, PPh
pasal 23 yang harus dipotong dari pembayaran kepada pihak ke-3, (vendor) tidaklah menjadi pengurang penghasilan
(biaya) bagi perusahaan, karena perusahaan hanya mengurangi jumlah uang yang
akan dibayarkan kepada vendor sebesar tarif PPh 23 yang berlaku dan
menyetorkannya ke kas negara.
Sayangnya, dunia –apalagi dunia pajak- tidak
selalu indah. Ada saat dimana perusahaan harus melakukan transaksi dengan
vendor yang lebih superior dan tidak bersedia dipotong pajak atas fee yang akan
diterimanya. Ada saat dimana perusahaan dalam posisi sangat membutuhkan jasa
‘pihak ketiga tersebut’ karena otoritas yang dimilikinya. Dalam kondisi seperti
ini, perusahaan lagi-lagi akan memperhitungkan alternatif mana yang harus
dipilih agar pajak tidak semakin menjadi beban bagi perusahaan. Kadang
perusahaan terpaksa memilih untuk melakukan gross up atas fee yang akan
dibayarkan kepada vendor / pihak ketiga yang jasanya sangat dibutuhkan
perusahaan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Adakalanya perusahaan memilih
untuk menanggung pajak yang seharusnya menjadi beban pihak lain, meskipun beban
pajak tersebut pada akhirnya menjadi komponen non deductable item.
Salah satu tujuan sebuah perusahaan didirikan
adalah untuk tujuan ekonomi. salah satu tolok ukur keberhasilan sebuah
perusahaan secara ekonomi adalah pencapaian laba bersih setelah pajak yang
tinggi. Laba bersih yang tinggi tentu
diawali dengan pencapaian target penjualan yang tinggi, kemudian diikuti dengan
pengeluaran biaya-biaya yang efisien, dan pembayaran pajak yang optimal,
sehingga akan dicapai laba bersih setelah pajak yang maksimal. Ketika penjualan
mencapai target, namun biaya yang dikeluarkan jauh lebih tinggi, maka secara
ekonomi hal tsb hanya akan menjadi sebuah pencapaian yang “sia-sia”. Demikian pula ketika laba bersih –secara
komersial- sudah mencapai angka yang optimal, karena didukung dengan pencapaian
target penjualan yang maksimal dan pengeluaran yang minimal, bisa jadi akan
menjadi sia-sia ketika ternyata laba habis tergerus beban pajak yang tidak
seharusnya. Misalnya karena banyaknya biaya yang merupakan kriteria non
deductable expenses.
Pengemplang pajak biasanya disebut juga dengan
korupsi, kejahatan pajak, mengemplang hutang yang ditanggung oleh rakyat.
Terkait dengan masih tingginya tunggakan pajak yang dilakukan sejumlah wajib
pajak di Indonesia dan penyalahgunaannya maka hal tersebut seharusnya segera
dituntaskan karena dinilai merugikan perekonomian Negara. Diharapkan pemerintah
segera menangani setiap pelanggaran pajak dan diberi sanksi pidana pajak yang
tegas.
Hukum merupakan cermin yang
memantulkan kepentingan masyaraat. Karena kepentingan masyarakat selalu
berubah, maka secara operasional hukum juga dituntut untuk selalu mengubah
dirinya. Dewasa ini, dunia hukum di Indonesia sedang dalam masa disintegrated.
Disatu satu pihak, tatanan hukum lama yang berasal dari hukum kolonial dan
hukum adat, bahkan hukum yang telah dibentuk setelah kemerdekaan banyak yang
telah usang. Dan dilain pihak, tatanan alternatif dari hukum baru belum juga
terbentuk. Bahkan platform yang jelas belumpun diketahui, ditambah dengan
sector pengetahuan ekonomi yang semangatnya digenjot menggebu-gebu, tercipalah
distorsi kedalam sektor bisnis dan ekonomi itu sendiri.
Dengan adanya isu dugaan penggelapan dana pajak yang cukup besar pada sebuah perusahaan publik, menjadi sebuah tanda bahwasanya walaupun perusahaan besar tetapi masih lemah dalam menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance terutama dalam hal menyampaikan berita yang akurat serta prinsip responsibility berupa kurang dipatuhinya peraturan serta ketentuan yang berlaku.
Dengan adanya isu dugaan penggelapan dana pajak yang cukup besar pada sebuah perusahaan publik, menjadi sebuah tanda bahwasanya walaupun perusahaan besar tetapi masih lemah dalam menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance terutama dalam hal menyampaikan berita yang akurat serta prinsip responsibility berupa kurang dipatuhinya peraturan serta ketentuan yang berlaku.